Santri Indonesia di Notre Dame: Melihat Langsung Toleransi dan Kerukunan Antaragama di Amerika
Amerika, Santri Mengglobal - Jumat, 1 November 2024, kami, peserta program Micro Credential 2024, mengunjungi University of Notre Dame yang berlokasi di South Bend, Indiana, Amerika Serikat. Setibanya di sana, kami disambut oleh Profesor Mahan Mirza, Direktur Eksekutif di Rafat dan Zoreen Ansari Institute for Global Engagement with Religion di Keough School of Global Affairs, University of Notre Dame.
Beliau menyambut kami dengan sangat hangat dan ramah. Setelah itu, kami diajak berkeliling salah satu gedung Universitas, tempat beliau bekerja dan beristirahat. Setelah berkeliling, kami memasuki sebuah ruangan yang cukup privat, di mana kami bertemu dengan Profesor Gerard Powers.
Beliau adalah seorang akademisi dan praktisi di bidang perdamaian internasional dengan fokus pada etika perang, hak asasi manusia, dan kebijakan luar negeri. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Direktur Catholic Peacebuilding Network di University of Notre Dame.
Profesor Powers mulai menjelaskan tentang peacebuilding. Menurutnya, peacebuilding merupakan sebuah proses kompleks yang bertujuan menciptakan perdamaian berkelanjutan di masyarakat yang tengah atau pernah mengalami konflik.
Dalam pandangannya, peacebuilding bukan hanya tentang menghentikan kekerasan atau perang, tetapi juga mencakup upaya membangun kembali masyarakat yang hancur akibat konflik dengan cara inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Profesor Powers menjelaskan bahwa peacebuilding meliputi pencegahan konflik, penyelesaian damai, dan rekonsiliasi pasca-konflik. Proses ini tidak hanya menyentuh aspek politik, tetapi juga mencakup aspek ekonomi, sosial, dan budaya.
Salah satu komponen penting dalam pemikirannya adalah membangun keadilan sosial serta rekonsiliasi antar kelompok yang terlibat dalam konflik, serta memberikan fasilitas untuk dialog yang memberikan manfaat positif bagi semua pihak.
Prof. Powers juga mengajarkan tentang konsep R2P (Responsibility to Protect), yaitu tanggung jawab negara dan komunitas internasional untuk melindungi warga sipil dari kekerasan, terutama dalam konflik bersenjata. Selain itu, beliau berbagi pengalamannya sebagai akademisi yang lama terlibat dalam pembangunan perdamaian berdasarkan ajaran Katolik.
Saya jujur sangat tertarik dengan materi ini, hingga muncul pertanyaan: sejauh mana pendidikan dapat berkontribusi dalam pembangunan perdamaian? Profesor Powers menjawab bahwa pendidikan berperan sebagai kunci menciptakan masyarakat damai dengan membekali pelajar dengan ilmu, keterampilan, dan nilai-nilai yang mendukung perdamaian.
Pendidikan tidak hanya membantu mengatasi konflik, tetapi juga mencegah timbulnya konflik di masa depan. Ia menekankan bahwa pendidikan dalam peacebuilding harus berbasis pada prinsip moral, keadilan sosial, dan etika, serta melibatkan kerja sama antara organisasi internasional, negara, dan masyarakat sipil untuk membentuk perdamaian yang berkelanjutan.
Setelah sesi tanya jawab, banyak peserta lain mengajukan pertanyaan tentang topik ini karena manfaatnya yang sangat luas. Menurut saya sendiri, materi ini sangat berharga dalam menyelesaikan konflik secara damai sekaligus meningkatkan pemahaman global tentang perdamaian dan keadilan sosial. Profesor Powers berpesan bahwa langkah pertama dalam membangun perdamaian adalah menanamkan nilai keadilan kepada semua kalangan masyarakat.
Setelah sesi bersama Profesor Powers selesai, pukul 12.30 PM, kami melanjutkan tur keliling University of Notre Dame, dipandu oleh Profesor Mahan Mirza dan beberapa staf dari American Islamic College.
Kami mengunjungi beberapa tempat ikonik di kampus, seperti Golden Dome. Profesor Mahan menjelaskan bahwa Golden Dome adalah simbol ikonik Universitas Notre Dame. Kubah emas yang terletak di atas Main Building ini menjadi simbol universitas dan dapat terlihat dari berbagai sudut kampus. Di atas kubah, terdapat patung Mary (Bunda Maria) yang menghadap ke barat. Bangunan ini didirikan pada tahun 1882.
Kami juga mengunjungi Basilica of the Sacred Heart, gereja utama di universitas dan pusat kehidupan rohani kampus. Bangunan ini sering digunakan untuk perayaan penting oleh mahasiswa, fakultas, dan alumni Universitas Notre Dame. Basilica didirikan pada tahun 1842.
Selain itu, kami mengunjungi perpustakaan dan tempat ikonik lainnya di kampus. Setelah tur, kami melanjutkan perjalanan ke masjid di kawasan Indiana untuk melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Khutbah disampaikan oleh Presiden American Islamic College yang membahas Islam sebagai Rahmatan lil-Alamin, yaitu agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.
Usai shalat Jumat, kami menikmati makan siang bersama dengan hidangan nasi briyani dan daging kambing yang lezat, serta makanan ringan lainnya. Setelah makan, kami melanjutkan kegiatan bersama Dr. Laurie Nathan, Direktur Program Mediasi di Institut Kroc untuk Studi Perdamaian Internasional di Universitas Notre Dame.
Beliau menjelaskan bahwa mediasi adalah proses formal untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik menjembatani komunikasi dan menemukan solusi yang bermanfaat bagi semua. Dr. Nathan memaparkan tahap-tahap mediasi, mulai dari persiapan, pembukaan, pernyataan pihak, diskusi, negosiasi, hingga kesepakatan.
Kegiatan berlanjut dengan sesi kedua yang dipimpin Dr. John Pitter, seorang praktisi kerukunan antarumat beragama. Beliau berbagi pengalaman dalam memfasilitasi dialog antar kelompok agama yang berbeda dan pentingnya pendekatan inklusif serta empati dalam menciptakan perdamaian di masyarakat pluralistik. Sesi ini memberikan wawasan penting tentang pentingnya kerukunan antar umat beragama untuk menjaga stabilitas sosial dan perdamaian dunia.
Kegiatan ditutup dengan makan malam bersama di rumah Dr. Mahan Mirza. Kami menikmati hidangan khas seperti nasi Pakistan, puding labu, dan makanan lainnya yang menggugah selera. Suasana hangat selama makan malam mempererat hubungan kami sebagai peserta dan menjadi momen untuk berbagi cerita serta pengalaman lebih lanjut. Akhirnya, kami kembali ke apartemen masing-masing.
Pelajaran dari pengalaman ini adalah bahwa perdamaian dan kerukunan antarumat beragama memerlukan diskusi, pendidikan, dan kolaborasi. Mediasi, dialog lintas budaya dan agama, serta keterbukaan adalah langkah penting menuju dunia yang lebih damai dan adil.
Semua aktivitas yang bermanfaat di atas dapat kami lakukan berkat program Beasiswa Dana Abadi Pesantren dari Kementerian Agama, bekerja sama dengan LPDP dan lembaga pendidikan di Chicago. Terima kasih, semuanya!
Tegar Setiawan, Peserta Program Micro Credential (2024), Chicago, Amerika Serikat Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.***(Tegar Setiawan)