Perjalanan Toleransi 7.646 Mil: Mengungkap Fakta dan Opini Media di Inggris

03 Dec

Perjalanan Toleransi 7.646 Mil: Mengungkap Fakta dan Opini Media di Inggris

Inggris, Santri Mengglobal - Perkenalkan, saya Ida Fitri Anggarini, atau yang lebih sering dipanggil Miss Ida. Saya adalah lulusan Pesantren Al-Ittihad Malang dan telah aktif berkecimpung di dunia penelitian serta sebagai aktivis Moderasi Beragama sejak tahun 2021.

Pada tahun 2024 ini, saya mendapat kesempatan mengikuti program Santri International Fellowship yang diselenggarakan oleh Coventry University, Inggris. Program ini adalah hasil kolaborasi antara Kementerian Agama RI dan LPDP Kementerian Keuangan RI, dengan fokus utama pada hubungan antar umat beragama (interfaith) di Inggris. Program ini berlangsung selama sebulan dan diikuti oleh sejumlah peserta dari berbagai latar belakang.

Selama di Inggris, kami mendalami tiga pertanyaan utama sebagai fokus kegiatan: What is interfaith? Who does it? And why do we need it? Kami tidak hanya bekerja sama dengan Coventry University, tetapi juga didampingi oleh The Faith and Belief Forum, sebuah lembaga yang sudah berpengalaman dalam memperkuat hubungan antar umat beragama di Inggris.

Secara pribadi, pandangan saya tentang interfaith adalah bagaimana kita bisa menumbuhkan rasa saling menghargai dan menerima perbedaan. Pemikiran ini tentu tidak lepas dari konsep moderasi beragama yang dikenal di Indonesia, yang menekankan komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan adaptasi terhadap budaya lokal. Namun, penerapan konsep ini berbeda dengan di Inggris, mengingat konteks multikulturalisme yang diwarnai sejarah kolonialisme Inggris, sementara di Indonesia, keberagaman sudah ada sejak zaman nenek moyang.

Peran Semua Pihak dalam Hubungan Antarumat Beragama

Siapa yang berperan dalam hubungan antar umat beragama? Jawabannya jelas: semua pihak. Berbagai lembaga dan individu di Inggris, mulai dari pemerintah lokal, polisi, komunitas agama, pemuda, aktivis, hingga anggota parlemen, berperan aktif dalam memajukan interfaith. Hal ini tentu bisa diterapkan di Indonesia untuk menciptakan hubungan antar umat beragama yang harmonis, bebas dari ujaran kebencian, isu SARA, dan provokasi. Dengan begitu, kita dapat hidup dalam kedamaian, keamanan, dan kenyamanan bersama.

Salah satu hal yang sangat mengesankan saya di Inggris adalah bagaimana hubungan intra-faith dapat terjalin dengan baik. Semakin terlibat dalam komunitas agama, semakin mendalam pemahaman terhadap berbagai aliran dalam satu agama, seperti Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan lain-lain. Hal ini sangat kontras dengan kondisi di Indonesia, di mana kita masih sering menyaksikan perselisihan antar aliran yang masing-masing berusaha menunjukkan siapa yang lebih "benar".

Kondisi Sosial Umat Muslim di Inggris

Saya juga sangat terkesan dengan sebuah masjid di Inggris yang menjadi pusat pendidikan, pemberdayaan, dan kegiatan dakwah bagi komunitas Muslim setempat. Ironisnya, masjid ini terletak di salah satu daerah termiskin di Inggris, dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim. Mereka tidak hanya berjuang untuk persamaan hak, tetapi juga menghadapi tantangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari ujaran kebencian. Meski pemerintah setempat mendengarkan aspirasi mereka, implementasi kebijakan yang menguntungkan masih sering terhambat.

Fenomena Islamophobia, sarkasme, dan diskriminasi sering mereka alami, termasuk kami yang berada di kampus. Hal ini menunjukkan betapa besar perjuangan yang harus dilakukan oleh minoritas Muslim di Inggris, khususnya terkait dengan perasaan dan perlakuan yang tidak adil.

Dampak Global dan Keragaman Agama di Inggris

Perjalanan ini juga membuka mata kami mengenai pengaruh permasalahan global terhadap umat Muslim di Inggris, yang juga merasakan dampak dari konflik-konflik internasional, terutama di Timur Tengah. Sebagian besar imigran Muslim di Inggris berasal dari India, Pakistan, Bangladesh, serta beberapa negara di Afrika seperti Mesir, Libya, dan Sudan, yang semuanya berhubungan dengan sejarah kolonialisme Inggris. Terbaru, banyak tenaga kerja wanita (TKW) dari Hong Kong yang mencari suaka di Inggris, termasuk beberapa di antaranya adalah warga Indonesia.

Selain itu, belajar tentang interfaith di Inggris juga memperkenalkan kami pada banyak aliran dan agama yang mungkin belum banyak kita kenal, seperti Sikh, Yahudi, Quakers (aliran Kristen), Agnostik, dan Ortodoks. Semua agama ini hidup berdampingan dengan damai di Inggris.

Keamanan dan Perbedaan Sosial

Namun, tinggal di Inggris juga memunculkan beberapa tantangan, terutama dalam hal keamanan. Kami diajarkan untuk menghindari berjalan sendirian atau keluar malam hari. Pernah terjadi insiden perundungan dan pemukulan di tempat gelap yang memaksa kami untuk mengambil jalan lebih jauh. Di pusat kota, sering kali kami melihat botol minuman keras pecah di jalanan, dan mendengar kemarahan pengunjung yang sepertinya bertentangan dengan norma yang kami anut di Indonesia.

Di Inggris, banyak hal yang dianggap ilegal di Indonesia justru dilegalkan, seperti LGBT, narkotika, dan senjata. Kejahatan seperti penusukan (knife crime) juga semakin marak, terutama di kalangan remaja.

Tujuan Interfaith dan Pentingnya Toleransi

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tujuan interfaith adalah untuk membangun hubungan sosial yang lebih baik. Fokus utamanya bukanlah pada aspek spiritual, yang tetap menjadi ranah masing-masing individu, melainkan pada usaha untuk saling memahami, menghargai, dan menerima perbedaan agar dapat hidup harmonis dalam keberagaman. Ini adalah esensi dari interfaith yang perlu kita pahami dan jalani dengan bijak.

Beberapa media memang telah menyampaikan kebenaran tentang isu ini, meskipun masih ada beberapa fakta yang belum sepenuhnya terungkap. Terlepas dari itu, perlu ditegaskan bahwa toleransi bukan berarti kita harus menyetujui segala hal yang disampaikan oleh pihak lain. Toleransi lebih kepada sikap menghargai, menerima, dan memahami perbedaan, bukan menghapuskan keberagaman itu sendiri.

Perjalanan ini memberikan banyak pelajaran berharga tentang pentingnya toleransi dan hubungan antar umat beragama yang harmonis. Kita semua bisa belajar untuk lebih terbuka, menerima, dan saling menghargai dalam keragaman, baik di Inggris, Indonesia, maupun di seluruh dunia.

Ida Fitri Anggarini, peserta program Santri International Fellowship (SIF) 2024 di Inggris, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP.***(Ida Fitri Anggarini)