Mengenal Global Education di Kampus Luar Negeri: Sebuah Catatan dari Brisbane

30 Apr

Belum lama, seorang tokoh politik, Bapak Anies Baswedan berbagi tentang bagaimana menjadi global citizen? Salah satu poin yang saya kulik adalah “belajar di luar negeri”. Mungkin banyak yang membayangkan kuliah di luar negeri adalah tentang kampus megah, teman-teman dari berbagai benua, dan tentu saja: nggak ada skripsi. Tapi, apa benar seperti itu?

Saya membuka kotak pertanyaan di Instagram dan bertanya, “Ekspektasimu kuliah di luar negeri apa sih?”, jawabannya beragam. Ada yang berharap bisa ketemu teman dari berbagai negara, merasakan sistem pendidikan yang lebih maju, memperluas koneksi internasional, hingga yang paling populer: “nggak ada skripsi 😭”.

Semua ekspektasi yang disampaikan sebagaimana respon dari teman-teman di media sosial semua adalah benar. Semua itu dirangkum dalam konsep “Global Education”, sebuah pemikiran tentang pendidikan yang merangkul semuanya.

Setiap hari, saya belajar di lingkungan yang benar-benar lintas batas. Di kelas, saya duduk bersama teman-teman dari Kolombia, Tiongkok, Vietnam, Afrika Selatan, dan berbagai negara lainnya. Kami tidak hanya bertukar pendapat soal teori atau tugas, tapi juga tentang pandangan hidup, budaya lokal, kepercayaan, hingga pengalaman pribadi. Proses ini membuat saya sadar: belajar di sini bukan hanya terbatasi dari isi modul atau nilai akademik, tapi lebih jauh membentuk perspektif global yang inklusif dan reflektif.

Pengalaman semacam inilah salah satu wujud nyata dari Global Education. Konsep ini tidak semata-mata berarti “belajar di luar negeri” atau mengikuti kurikulum internasional. Lebih dari itu, Global Education adalah pendekatan yang memberi ruang pada mahasiswa untuk menjadi pembelajar yang otonom, kritis, terbuka, dan sadar akan realitas dunia yang saling terhubung. Mahasiswa tidak hanya dikejar capaian akademik, tapi juga diajak untuk berpikir sebagai manusia seutuhnya, yang bisa memilih, memaknai, dan berkontribusi.

Dosen mengambil peran sebagai fasilitator, bukan sekadar pemberi materi. Setiap sesi perkuliahan adalah ruang diskusi, di mana pendapat mahasiswa dihargai dan pertanyaan dianggap sama pentingnya dengan jawaban. Penilaian tidak hanya berupa ujian akhir atau skripsi, tetapi bisa dalam bentuk esai reflektif, proyek kolaboratif, laporan studi kasus, hingga presentasi kreatif. Ini membuat saya merasa terlibat penuh dalam proses belajar yang tidak hanya mengerjakan, tapi juga memahami.

Dalam Global Education, mahasiswa tidak dituntut untuk sepenuhnya mendalami dunia riset atau penelitian yang kompleks dan terkadang memusingkan. Jadi, “Nggak ada skripsi” sangat betul sekali, tesis dan penelitian seringkali menjadi “pilihan”. Kalau kita tidak butuh itu, tidak perlu mengikuti penelitian. Semuanya adalah soal pilihan. Kamu tidak suka dengan course tertentu, kamu diberi waktu untuk ganti course tersebut atau bahkan pindah program studi. Semudah itu!

Yang juga terasa sangat kuat adalah nuansa self-directed learning. Tidak ada yang terus-menerus mengingatkan atau mengontrol, tapi justru itulah yang menguatkan disiplin dan rasa tanggung jawab. Sistem ini percaya pada kemampuan mahasiswa untuk mengatur ritmenya sendiri, tapi sekaligus menyediakan dukungan yang dibutuhkan jika kita mencarinya.

Tinggal di Brisbane, saya juga belajar menjadi global citizen. Bukan hanya karena tinggal di lingkungan multikultural, tapi karena saya benar-benar dihadapkan pada realitas dunia yang beragam dalam kebiasaan, nilai, bahasa, hingga cara memaknai kehidupan. Saya belajar menghargai waktu, menjaga etika komunikasi, dan hidup berdampingan dalam perbedaan. Di saat yang sama, juga terus merawat identitas saya sebagai seorang Muslim Indonesia. Proses ini bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan menemukan cara baru untuk mengekspresikannya dengan konteks yang berbeda.

Bagi banyak orang, mungkin salah satu daya tarik kuliah di luar negeri adalah sistem pendidikan yang terasa lebih “manusiawi”, tidak ada skripsi, tidak terlalu banyak hafalan, dan punya keseimbangan antara teori dan praktik. Itu semua memang terasa menyegarkan. Tapi menurut saya, yang jauh lebih penting adalah bagaimana sistem ini membantu kita menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi juga sadar, terhubung, dan bertanggung jawab terhadap dunia yang kita tinggali bersama.

kuliah di luar negeri memang sering dibayangkan sebagai kesempatan untuk belajar tanpa skripsi atau berada di sistem pendidikan yang lebih fleksibel. Namun seiring waktu, pengalaman ini ternyata juga membawa proses tumbuh sebagai individu yang lebih terbuka, reflektif, dan terhubung dengan dunia. Global education pun terasa bukan semata soal lokasi belajar, melainkan tentang bagaimana kita membentuk diri untuk tetap berpijak pada akar, sambil membuka ruang untuk hadir dan berkontribusi secara global.

Lebih jauh soal Global Education, teman-teman bisa baca “Gert Biesta’s Three Domains of Education”

 

Abid Khofif Amri Shidqi

Master of Educational Studies
The University of Queensland