Bagaimana Kampus Australia Berdamai dengan Artificial Intelligence?

23 May

Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi dengan teman sekelas tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) telah berevolusi dan mengubah cara kita belajar. Obrolan ini mengingatkan saya pada film Avengers: Age of Ultron (2015), yang menggambarkan betapa cepat dan dahsyatnya perkembangan AI. Dalam film tersebut, Tony Stark (Iron Man) menciptakan Ultron sebagai pelindung umat manusia.

“I see a suit of armor around the world,” ujar Tony.

Sayangnya, AI ciptaannya justru lepas kendali dan mengambil alih banyak peran manusia, mencerminkan potensi bahaya dari AI yang tidak dikendalikan. Gambaran fiktif ini kini mulai terasa nyata.

Hari ini, hampir semua aspek kehidupan telah tersentuh AI: dari toko daring, mesin pencari, media sosial, hingga dunia akademik. AI kini mampu merangkum jurnal, menyusun struktur tulisan, menjawab pertanyaan teknis, dan merangsang ide—hampir semua bisa dibantu AI. Namun, di balik kemudahan itu, muncul risiko: kita menjadi semakin bergantung, malas berpikir, dan terbiasa dengan jalan pintas. Banyak yang mulai memandang AI sebagai ancaman.

Namun, The University of Queensland (UQ) memiliki pendekatan yang bijak. Alih-alih menolak atau memusuhi AI, UQ justru merangkulnya sebagai mitra belajar. Mereka menetapkan pedoman etis yang jelas untuk penggunaan AI di lingkungan akademik.

AI sebagai Alat Bantu, Bukan Pengganti

Di UQ, mahasiswa diperbolehkan menggunakan AI, tetapi dengan syarat:

  • Harus transparan menyebutkan bagian mana yang dibantu oleh AI.

  • Menyertakan appendix berisi tangkapan layar penggunaan AI, termasuk prompt dan tujuannya.

Dengan begitu, dosen dapat menilai seberapa besar peran AI dalam tugas tersebut dan menjaga objektivitas penilaian. Penggunaan AI sebagai alat bantu pencarian referensi tetap dihargai, namun jika seluruh tugas diserahkan sepenuhnya pada AI—misalnya, hanya mengetik satu prompt lalu menyalin hasilnya—maka hal itu dianggap melanggar semangat akademik.

AI bukan eksekutor, melainkan asisten. Ia boleh membantu memberi saran, memancing ide, atau menyusun kerangka, tapi refleksi dan penilaian tetap harus datang dari manusia.

Membangun Kesadaran dan Tanggung Jawab

UQ juga membekali mahasiswa dengan modul pelatihan integritas akademik yang wajib diikuti saat orientasi. Di dalamnya, mahasiswa belajar bagaimana menggunakan AI secara bertanggung jawab, bahkan ada ujian khusus untuk mengukur pemahaman dan integritas dalam penggunaannya.

Ini adalah langkah preventif untuk memastikan mahasiswa tidak terjebak dalam plagiarisme atau menjadikan AI sebagai pengganti proses belajar.

AI: Ancaman atau Peluang?

Pengalaman saya di UQ menunjukkan bahwa AI bukan musuh, tapi alat belajar yang luar biasa. AI mempermudah akses ke informasi dan mempercepat proses berpikir. Namun, AI tetaplah mesin—tanpa norma, nilai, atau rasa. Kitalah yang harus mengarahkan AI untuk tujuan yang benar.

AI tidak datang untuk menggantikan manusia, melainkan untuk menguji kesadaran kita sebagai manusia seutuhnya. Kita tidak bisa menghindari gelombang perubahan, tapi kita bisa belajar berselancar di atasnya.

 

Dengan perspektif ini, AI dapat mendorong otak manusia jauh lebih maju, bukan sebaliknya. Maka, mari kita berhenti memusuhi AI, dan mulai menjadikannya rekan untuk berpikir lebih dalam, lebih cerdas, dan lebih manusiawi.

 

Abid Khofif Amri Shidqi

Tags australia