Diskursus LGBTQ+ dalam Pandangan Agama dan Hak Asasi Manusia

19 Dec

Diskursus LGBTQ+ dalam Pandangan Agama dan Hak Asasi Manusia

Santri Mengglobal - Di tengah percakapan hangat yang tak kunjung usai, terdapat sebuah isu yang terus mengundang pro dan kontra: hak dan eksistensi komunitas LGBTQ+. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Barat, namun juga mulai merambah ke negara-negara dengan latar belakang agama yang kuat, termasuk Indonesia. Kematangan diskursus ini bisa dilihat pada beberapa kejadian besar yang menyorot perhatian dunia, seperti saat berlangsungnya Piala Dunia 2022 di Qatar.

Qatar, sebuah negara yang teguh pada prinsip konservatif, menyatakan dengan tegas bahwa simbol-simbol LGBTQ+ tidak boleh ada dalam ajang sepak bola bergengsi ini. Meski Qatar dengan terbuka mengundang siapa saja untuk datang dan menyaksikan pertandingan, larangan terhadap simbol LGBTQ+ tersebut memicu protes keras dari sejumlah kelompok yang melihatnya sebagai pembatasan hak asasi manusia. Menurut mereka, kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk dalam hal orientasi seksual, merupakan hak dasar yang harus dihormati.

Fenomena ini membawa kita pada sebuah pertanyaan besar: mengapa masyarakat masih terbagi dalam pandangannya terhadap komunitas LGBTQ+? Apakah ini hanya masalah kebebasan berpendapat atau ada sesuatu yang lebih dalam, terutama ketika berbicara tentang agama dan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar kuat di sebuah negara? Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pandangan terhadap homoseksualitas jelas lebih tegas. Dalam Al-Qur'an, Allah mengisahkan peristiwa kaum Nabi Luth yang dihancurkan karena perilaku homoseksual mereka. Dan di sinilah letak permasalahannya: bagaimana sebuah komunitas bisa hidup dalam sebuah negara yang mayoritas agamanya memandang perilaku tersebut sebagai dosa besar?

 

LGBTQ+ dan Pandangan Agama: Menyelisik Ketegasan dalam Firman Tuhan

Ketika berbicara tentang homoseksualitas dalam agama Islam, kita tak bisa menghindari kisah kaum Nabi Luth yang dimusnahkan karena perbuatan mereka yang dianggap sebagai "fahisyah" atau perbuatan keji. Dalam Al-Qur'an, dalam Surat Al-Ankabut ayat 28-34, disebutkan bahwa kaum Luth dilaknat oleh Allah karena perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Bahkan Nabi Luth, yang mengingatkan kaumnya untuk bertobat, hanya mendapat tanggapan hina dari mereka. Perilaku homoseksual ini dianggap sebagai sesuatu yang melawan kodrat manusia dan merusak tatanan kehidupan sosial.

Pandangan ini memang tegas. Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah bentuk penyimpangan yang sangat bertentangan dengan ajaran agama, yang seharusnya mengarahkan manusia pada hubungan yang sah antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar sebuah ikatan sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia melalui keturunan. Oleh karena itu, segala bentuk hubungan yang tidak sesuai dengan tujuan ini dianggap sebagai sebuah pelanggaran.

Namun, bagi sebagian kelompok LGBTQ+, mereka merasa bahwa cinta yang mereka rasakan adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa orientasi seksual yang mereka alami adalah bagian dari takdir yang harus diterima. Dalam pandangan mereka, jika Tuhan menciptakan mereka demikian, apakah kita boleh membenci mereka? Ini adalah dilema yang dihadapi banyak orang dalam menanggapi fenomena ini, terutama ketika hak asasi manusia (HAM) menjadi dasar perjuangan mereka.

 

Hak Asasi Manusia dan Tuntutan Kebebasan

Di sisi lain, ada pandangan yang berlandaskan pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Bagi mereka yang mendukung komunitas LGBTQ+, hak untuk mencintai siapa pun dan menjalani kehidupan seksual sesuai dengan pilihan masing-masing adalah hak dasar yang harus dijaga. Mereka berargumen bahwa diskriminasi terhadap individu karena orientasi seksual atau identitas gender adalah pelanggaran HAM yang tak bisa dibenarkan. Kebebasan berpendapat, beragama, dan berhak menentukan jalan hidup adalah prinsip yang seharusnya dihormati oleh setiap negara.

Di Indonesia, perdebatan ini semakin memanas, terlebih dengan berkembangnya gerakan LGBTQ+ yang mulai terdengar di kalangan masyarakat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Fenomena seperti pesta gay di Kuningan Jakarta, misalnya, memicu kontroversi besar. Ada yang menyambutnya sebagai bentuk kebebasan individu, namun banyak juga yang menolaknya karena dianggap sebagai ancaman terhadap moral dan nilai-nilai agama.

Gerakan ini tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga merambah ke dunia maya. Media sosial menjadi sarana utama bagi kelompok LGBTQ+ untuk menyuarakan hak mereka. Melalui akun-akun dan grup online, mereka berbagi pengalaman, saling mendukung, dan mengkampanyekan ideologi kebebasan seksual. Bahkan, kegiatan-kegiatan seperti parade dan seminar menjadi cara bagi mereka untuk memperkenalkan dan memperjuangkan hak mereka dalam masyarakat.

Namun, dalam konteks Indonesia, di mana agama memainkan peranan besar dalam kehidupan sosial dan politik, gerakan ini bukan tanpa tantangan. Pandangan agama yang konservatif terhadap seksualitas yang menyimpang masih mendominasi, dan ini sering kali menyebabkan terjadinya ketegangan antara kelompok yang mendukung dan yang menentang.

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Sikap Terhadap LGBTQ+

Melihat fenomena ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, tidak tinggal diam. MUI dengan tegas menyatakan bahwa perilaku LGBTQ+ adalah tindakan yang dilarang dalam Islam dan harus dicegah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI mengenai homoseksualitas menegaskan bahwa perilaku tersebut adalah bentuk penyimpangan yang harus dihindari.

Namun, MUI juga menyadari bahwa menyelesaikan masalah ini bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya karena tantangan dari luar negeri yang mendukung kebebasan LGBTQ+, tetapi juga karena Indonesia adalah negara yang sangat majemuk. Oleh karena itu, MUI lebih menekankan pendekatan yang lembut dan penuh pengertian, tanpa menghakimi individu yang terjerumus dalam perilaku tersebut. Pendekatan psikologis dan dakwah menjadi bagian dari upaya MUI untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya generasi muda.

 

Solusi dan Inisiatif untuk Mencegah Penyebaran Perilaku LGBTQ+

Di tengah perdebatan ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana solusi yang tepat untuk menghadapi fenomena ini? Apakah yang terpenting adalah kebebasan individu dalam memilih orientasi seksual mereka, ataukah perlu ada upaya yang lebih keras untuk mencegah penyebaran perilaku LGBTQ+ yang dianggap bertentangan dengan norma agama dan sosial? Beberapa pihak berpendapat bahwa ada baiknya negara dan masyarakat bekerja sama untuk membangun kesadaran akan pentingnya melindungi generasi muda dari pengaruh negatif yang dapat merusak moralitas mereka.

Ini adalah tantangan besar bagi Indonesia. Menemukan keseimbangan antara menghormati hak asasi manusia dan mempertahankan nilai-nilai agama serta budaya yang telah ada sepanjang sejarah bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan dialog yang terbuka, penghormatan terhadap perbedaan, dan pendekatan yang bijaksana, kita mungkin bisa menemukan solusi yang tidak hanya adil, tetapi juga menghargai martabat setiap individu.

 

Darma Ami Fauzi (Manager SM Foundation)

Depok, 17 Desember 2024