Dialog Antaragama: Jejak Baha’i di Amerika Utara
Amerika, Santri Mengglobal - Pada tahun 2012, saat mengikuti MTQ di Kabupaten Kepulauan Mentawai, saya untuk pertama kalinya mendengar tentang agama Baha’i—sebuah kepercayaan yang cukup berkembang di sana. Rasa penasaran mulai muncul, tetapi karena berbagai kendala, keingintahuan itu harus saya pendam dalam-dalam. Ingatan itu tiba-tiba mencuat kembali ketika Menteri Agama RI secara resmi menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz kepada umat Baha’i di Indonesia. Sayangnya, upaya untuk menggali lebih banyak informasi saat itu masih terbatas.
Tahun ini, melalui program Dana Abadi Pesantren dari Kementerian Agama RI, saya bersama 19 rekan dari berbagai pesantren di Indonesia diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk mengikuti program pembelajaran singkat. Salah satu agenda menarik dalam program ini adalah kunjungan ke komunitas-komunitas keagamaan yang beragam. Hari ini, 20 November 2024, kami diajak mengunjungi Rumah Ibadah Baha’i yang terletak di Wilmette, Illinois—salah satu dari hanya delapan Rumah Ibadah Baha’i di dunia. Betapa antusiasnya saya, mengingat tempat ini bukan sekadar bangunan megah, melainkan juga pusat spiritual penting bagi umat Baha’i di seluruh dunia. Setelah 12 tahun, hasrat intelektual saya akhirnya terpuaskan.
Rumah Ibadah yang kami kunjungi menjadi pusat peribadatan bagi komunitas Baha’i di wilayah Amerika Utara. Dirancang oleh Louis Bourgeois, arsitek asal Kanada, bangunan ini selesai pada tahun 1953 dengan visi menciptakan sebuah "kuil universal untuk Kebenaran." Struktur bangunannya mengesankan: kubah besar yang menjadi ciri khas, sembilan sisi yang melambangkan kesatuan dan keberagaman umat manusia, serta ornamen arsitektur yang penuh filosofi spiritual. Setiap detailnya mencerminkan harmoni, baik secara fisik maupun spiritual.
Kunjungan kami disambut oleh Mbak Sofi, seorang WNI yang memeluk agama Baha’i sekaligus mengabdikan diri sebagai pengkhidmat di Rumah Ibadah ini. Dengan hangat, ia menjelaskan sejarah, filosofi bangunan, serta inti ajaran Baha’i. Filosofi keterbukaan sangat terasa: tempat ini terbuka untuk siapa saja, tanpa memandang latar belakang agama. Hal ini sejalan dengan keyakinan Baha’i bahwa semua agama berasal dari Tuhan yang satu, dan tidak ada alasan untuk melihat manusia sebagai “yang lain.” Dalam bangunan ini, tidak ada ritual ibadah khusus—semua orang dipersilakan untuk merenung, berkontemplasi, dan berlayar di lautan spiritual masing-masing, tanpa ada anjuran atau penghakiman.
Selain tempat ibadah, rumah ini juga menjadi simbol dialog antaragama, sebuah ruang di mana perbedaan dirayakan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Sebagaimana Baha’i meyakini bahwa semua agama berasal dari Tuhan yang Esa, mereka juga percaya bahwa setiap pendiri agama besar (baca: nabi) adalah utusan Tuhan di bumi yang membawa wahyu sesuai kebutuhan zamannya. Alhasil, menurut mereka, agama, wahyu, dan kitab suci adalah hal-hal yang bersifat progresif.
Agama Baha’i didirikan oleh Bahá'u'lláh pada pertengahan abad ke-19 dan menekankan persatuan umat manusia, keadilan sosial, serta harmoni antara ilmu pengetahuan dan agama. Prinsip utamanya mencakup kesetaraan gender, eliminasi prasangka, pendidikan universal, dan pembangunan keadilan sosial-ekonomi. Dalam komunitas Baha’i, laki-laki dan perempuan dianggap setara dalam peran dan tanggung jawab, sementara nilai-nilai seperti kejujuran, kasih sayang, dan perdamaian terus didorong untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Taman-taman indah yang mengelilingi Rumah Ibadah dirancang dengan sembilan bagian. Setiap bagiannya menampilkan flora unik sesuai musim, menjadikan tempat ini indah sepanjang tahun. Filosofi keseimbangan antara spiritual dan material sangat terasa, selaras dengan ajaran mereka tentang harmoni kehidupan. Ajaran ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui doa, meditasi, kerja keras, pelayanan masyarakat, dan partisipasi dalam kegiatan komunitas untuk membangun moral dan sosial.
Secara sederhana, 9 ajaran pokok dalam Baha’i adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan umat manusia, yaitu keyakinan bahwa seluruh manusia adalah satu keluarga tanpa memandang ras, etnis, atau agama.
2. Kesetaraan gender.
3. Penghapusan prasangka untuk mendorong toleransi dan menghapus semua bentuk diskriminasi.
4. Hak atas pendidikan untuk semua orang agar dapat mencapai potensi mereka.
5. Harmoni antara agama dan ilmu pengetahuan.
6. Keseimbangan antara kebutuhan rohani dan materiil.
7. Keadilan sosial dan ekonomi di masyarakat.
8. Dukungan terhadap struktur global untuk menjaga perdamaian dan keadilan.
9. Pengembangan karakter melalui nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.
Seperti yang saya sebutkan di awal, perkembangan Baha’i di Indonesia dimulai di Mentawai pada tahun 1953 oleh Dr. Rahmatullah Muhajir, seorang dokter relawan asal Iran. Ia datang ke Mentawai setelah mendengar pengumuman pada Konferensi Asia 1953 di New Delhi bahwa Mentawai sangat membutuhkan seorang dokter. Ia diterima dengan hangat oleh kepala suku setempat melalui upacara simbolik unik: makan ulat hidup yang sebelumnya dilepehkan oleh kepala suku. Sejak saat itu, kepala suku menganggap Dr. Rahmatullah sebagai saudara, sehingga ajaran Baha’i perlahan mulai dikenal di sana. Begitu cerita Mbak Sofi.
Setidaknya, hal ini membuktikan bahwa pendekatan dialogis dan kemanusiaan dalam mengenalkan ajaran agama jauh lebih relevan dibandingkan pendekatan dogmatis. Interaksi awal yang berbasis pada kepercayaan dan persaudaraan menunjukkan bagaimana dialog lintas budaya dapat menjadi fondasi bagi hubungan yang harmonis.
Shafwatul Bary, Peserta program Micro Credential (2024) Chicago, Amerika Serikat, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.***(Shafwatul Bary)