Dari Persia ke Amerika: Evolusi Zoroastrian di Chicago

03 Dec

Dari Persia ke Amerika: Evolusi Zoroastrian di Chicago

Amerika, Santri Mengglobal - Kamis (21/11) sore, ketika kota Chicago masih diselimuti salju tebal, kami diajak mengunjungi beberapa komunitas agama, salah satunya adalah komunitas Zoroastrian. Sore itu, mobil van yang dikemudikan oleh Bekmurat melaju menembus salju menuju Burr Ridge, Illinois. 

Tujuan kami adalah Zoroastrian Center of Chicago, atau yang oleh komunitas setempat disebut Arbab Rustam Guiv Darbe Mehr. Tempat ini merupakan pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi komunitas Zoroastrian di wilayah Amerika Utara.

Menurut situs resmi mereka, komunitas Zoroastrian di Chicago mulai berkembang setelah Perang Dunia II, saat para pelajar dari India, Pakistan, dan Iran datang ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja. Pada 1960-an, komunitas kecil ini mulai terorganisir. Kemudian, pada 1975, berdirilah Zoroastrian Association of Chicago (ZAC). 

Jumlah anggota terus bertambah hingga lebih dari 600 orang pada 1990-an, sehingga dibangunlah Darbe Mehr sebagai pusat spiritual dan sosial. Komunitas ini aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk acara keagamaan, sosial, dan dialog antaragama, seperti Kongres Zoroastrian Amerika Utara dan pertemuan antaragama global (https://zamc.org/about/history/).

Zoroaster, atau Zoroastrianisme, adalah agama kuno yang didirikan oleh Zoroaster (Zarathustra) di Persia sekitar abad ke-6 SM. Agama ini berpusat pada penyembahan Ahura Mazda, Tuhan yang dianggap sebagai sumber kebaikan, yang melawan kekuatan jahat Angra Mainyu. 

Keyakinannya melibatkan konsep dualisme moral, tanggung jawab individu, dan kehidupan setelah kematian. Kitab suci Zoroastrianisme adalah Avesta. Meskipun kini jumlah pengikutnya kecil, agama ini memiliki pengaruh besar pada agama-agama besar lainnya, seperti Yudaisme, Kristen, dan Islam.

Jamak diketahui bahwa Zoroaster adalah sebutan lain dari Majusi, namun sejatinya keduanya adalah dua hal yang perlu diurai dengan jelas. Zoroastrianisme adalah salah satu aliran utama dari agama Majusi, yang berasal dari Persia kuno (kini Iran) sekitar 5000 SM. 

Majusi dikenal sebagai agama tertua di wilayah tersebut, dan Zoroastrianisme didirikan oleh Zarathustra pada abad ke-6 SM. Meskipun memiliki elemen-elemen Majusi, Zoroastrianisme berfokus pada monoteisme dengan menyembah Ahura Mazda. 

Zarathustra berasal dari suku Media dan lahir di Azerbaijan. Sebagai salah satu cabang Majusi, Zoroastrianisme tetap eksis hingga kini dengan warisan tradisi dan ajaran yang berpengaruh. Singkatnya, Zoroaster adalah salah satu aliran dalam agama Majusi.

Seperti halnya sebuah aliran dalam agama, banyak aspek dari agama lama yang direvisi dan dikreasikan. Salah satunya adalah perkara menyembah api. Zoroaster tidak menyembah api, tetapi api digunakan sebagai simbol suci dalam Zoroastrianisme. 

Api melambangkan cahaya, kebenaran, dan kehadiran ilahi Ahura Mazda. Dalam praktik keagamaan, api sering dipelihara di tempat ibadah sebagai lambang kesucian dan keabadian, tetapi bukan untuk disembah. Tradisi ini menunjukkan penghormatan terhadap unsur alam yang mencerminkan kekuatan ilahi. Mereka berulang kali menekankan bahwa mereka tidak menyembah api.

Secara politis, sebagai agama yang sama-sama lahir dan tumbuh di Persia, Zoroaster mendapat nasib yang berbeda dengan Baha’i di bawah pemerintahan Iran modern. Dalam buku Religion in Iran: From Zoroaster to Baha'u'llah oleh Alessandro Bausani, dijelaskan bahwa Zoroastrianisme dan Baha’i mendapatkan perlakuan berbeda dari pemerintah Iran. 

Zoroastrianisme diakui sebagai salah satu agama resmi minoritas di Iran, bersama Yudaisme dan Kristen, dengan perlindungan hukum tertentu dalam konstitusi. Sebaliknya, agama Baha’i tidak diakui secara resmi oleh negara. 

Penganutnya sering menghadapi diskriminasi, seperti pembatasan dalam pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan beribadah, karena dianggap sebagai aliran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dominan di Iran.

Hal ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana agama-agama minoritas dapat bertahan, berkembang, dan bahkan beradaptasi di lingkungan baru yang jauh dari tanah asalnya. Di satu sisi, komunitas Zoroastrian di Chicago menunjukkan bagaimana kelompok diaspora mampu menjaga identitas budaya dan spiritual mereka. 

Dengan membangun pusat keagamaan seperti Darbe Mehr, mereka tidak hanya melestarikan warisan keimanan mereka, tetapi juga menciptakan ruang untuk dialog antaragama yang memperkuat nilai toleransi di masyarakat multikultural seperti Amerika Serikat.

Namun, hal ini juga membawa kita pada kesadaran akan tantangan yang dihadapi agama-agama minoritas di tanah kelahiran mereka. Nasib berbeda antara Zoroastrianisme dan Baha’i di Iran menunjukkan bahwa konteks politik, budaya, dan agama dominan sangat memengaruhi posisi suatu komunitas keagamaan dalam masyarakat.

Kontras antara pengakuan Zoroastrianisme dan diskriminasi terhadap Baha’i di Iran juga mencerminkan bagaimana politik identitas dapat digunakan untuk memperkuat dominasi agama mayoritas. Zoroastrianisme, yang dianggap bagian dari warisan budaya Persia kuno, diberikan ruang yang relatif aman di Iran. Sebaliknya, Baha’i, yang dianggap tidak sesuai dengan Islam, menghadapi tekanan berat.

Hal ini mengindikasikan adanya hierarki agama dalam sistem sosial dan politik. Pengakuan terhadap agama tertentu sering kali bergantung pada persepsi historis, politik, atau teologis, alih-alih semata-mata pada hak asasi manusia atau kebebasan beragama.

Shafwatul Bary, Peserta program Micro Credential (2024) Chicago, Amerika Serikat, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.***(Shafwatul Bary)