Dampak Nafkah Haram: Refleksi Sosial dan Nilai Ketakwaan

19 Dec

Dampak Nafkah Haram: Refleksi Sosial dan Nilai Ketakwaan

Santri Mengglobal - Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Najih al-Irbadh, Rasulullah Saw. pernah memberikan nasihat yang sangat mendalam kepada para sahabat. Nasihat itu begitu menggetarkan hati hingga membuat mereka menangis, seolah-olah itu adalah pesan perpisahan. Inti dari nasihat tersebut adalah agar kita selalu bertakwa kepada Allah Swt., yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ketakwaan bukan sekadar konsep, tetapi harus dibuktikan dengan perilaku nyata. Melakukan perbuatan baik adalah wujud dari ketakwaan, sedangkan perbuatan dosa adalah kebalikannya. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa sekecil apa pun amal kebaikan atau keburukan yang dilakukan manusia akan diperhitungkan dan dibalas, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Zalzalah: 7-8: “Barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasannya).”

Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis yang dikutip dan dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi dalam karyanya hadis Arbain Al-Nawawiyah bahwa tanda perbuatan baik adalah adanya ketenangan dalam hati, sedangkan perbuatan dosa justru menimbulkan rasa gelisah dan tidak nyaman. Ini menunjukkan bahwa manusia secara fitrah mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Namun, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, sering kali kita melihat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan. Salah satunya adalah fenomena keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu dengan cara instan, termasuk dalam hal mencari rezeki. Tidak jarang, orang tergoda untuk menempuh jalan haram, seperti berjudi, demi mendapatkan keuntungan cepat.

Beberapa waktu lalu, saya melihat langsung hal ini ketika membeli ketoprak dari seorang pedagang. Di sela-sela kesibukannya melayani pembeli, pedagang tersebut terlihat sibuk memantau sebuah aplikasi judi online di ponselnya. Fenomena seperti ini menjadi gambaran nyata bahwa perjudian kini semakin dekat dengan kehidupan masyarakat, bahkan di kalangan pedagang kecil. 

Banyak orang mungkin berpikir bahwa fenomena seperti ini adalah urusan pribadi seseorang, dengan anggapan, “Itu hak dia, suka-suka dia juga. Bisa jadi pedagang tersebut hanya ingin mencari kesenangan untuk dirinya sendiri.” Hal tersebut jika saya mencoba mengingat kembali, ternyata permainan judi sudah tidak asing lagi sejak masa kecil. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, permainan semacam ini sudah diperkenalkan, di mana orang-orang berani bertaruh uang, misalnya 500 perak, dengan harapan memenangkan hadiah yang bernilai berkali-kali lipat. Pada waktu itu, saya sendiri mungkin belum menyadari bahwa permainan seperti itu sejatinya merupakan bagian dari praktik berjudi. (Masa lalu, hehe)

Namun, jika dilihat dari perspektif agama, perbuatan ini jelas dilarang. Dalam QS. Al-Maidah: 90, Allah Swt. berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji dari setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”

Larangan ini bukan tanpa alasan. Perjudian tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga membawa dampak buruk bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Banyak kasus yang menunjukkan betapa besarnya dampak negatif judi. Misalnya, beberapa waktu lalu muncul berita tentang seorang istri yang nekat membakar suaminya karena kecanduan judi online. Kejadian ini menunjukkan bahwa perjudian dapat menghancurkan rumah tangga, merusak kepercayaan, dan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Rezeki yang diperoleh dengan cara haram, seperti hasil perjudian, juga membawa dampak yang lebih luas. KH. Hasyim Muzadi pernah mengatakan bahwa rezeki halal akan membawa keberkahan, sementara rezeki haram hanya akan merusak. Tidak jarang kita melihat bagaimana nafkah yang tidak halal justru menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Anak-anak menjadi durhaka, istri membangkang, dan ketenangan hidup hilang.

Hal ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi kenyataannya sering terjadi di tengah masyarakat kita.

Fenomena ini patut menjadi renungan bersama. Sebagaiman Rasulullah Saw telah memberikan teladan dan nasihat tentang pentingnya menjaga ketakwaan dalam segala aspek kehidupan. Ketakwaan bukan hanya tentang ibadah ritual semata, tetapi juga mencakup bagaimana kita mencari nafkah, berinteraksi dengan sesama, dan menjaga hati agar tetap bersih.

Tulisan ini pada akhirnya lahir dari kegelisahan pribadi terhadap fenomena sosial yang semakin marak di sekitar kita. Rasulullah Saw telah mengajarkan bahwa ketakwaan mencakup hubungan baik dengan Allah Swt. dan sesama manusia. Dengan menanamkan nilai-nilai ketakwaan, seperti menjauhi perbuatan haram dan menjaga kehalalan rezeki, kita tidak hanya memperbaiki diri sendiri tetapi juga memberikan dampak positif bagi keluarga dan masyarakat. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menghindari jalan yang dilarang oleh Allah Swt. dan selalu berada di atas jalan kebaikan.

 

Darma Ami Fauzi (Manager SM Foundation)

Depok, 17 Desember 2024